Komunikasi Terapeutik
1.
Pengertian
Komunikasi
terapeutik adalah komunikasi yang direncanakan secara sadar,
bertujuan dan kegiatannya dipusatkan untuk kesembuhan pasien (Musliha
dan Fatmawati, 2009).
Komunikasi
terapeutik adalah komunikasi yang direncanakan, disengaja dan
merupakan tindakan profesional. Komunikasi terapeutik bertujuan
membantu klien mencapai hubungan baik perawat dan klien dan membantu
klien memahami tujuan dari tindakan perawatan yang dilakukan (Potter
& Perry, 2005).
Komunikasi
terapeutik adalah suatu interaksi interpersonal antara perawat dan
klien yang selama interaksi berlangsung, perawat berfokus pada
kebutuhan khusus klien untuk meningkatkan pertukaran informasi yang
efektif antara perawat dan klien (Videbeck, 2008).
2.
Tujuan Komunikasi Terapeutik
Menurut
Videbeck (2008), komunikasi terapeutik digunakan untuk mencapai
banyak tujuan, yang meliputi hal-hal sebagai berikut:
a.
Membangun hubungan terapeutik perawat-klien.
b.
Mengidentifikasi masalah klien yang paling penting pada saat tersebut
tepat pada waktunya (tujuan berpusat pada klien).
c.
Mengkaji persepsi klien tentang masalah saat klien terbuka dalam
menceritakan peristiwa tersebut.
d.
Mengenali kebutuhan mendasar klien.
e.
Mamandu klien dalam mengidentifikasi cara pencapaian solusi yang
memuaskan dan dapat diterima oleh klien.
Menurut
Stuart dan Sundeen (dalam Hamid, 1996), tujuan hubungan terapeutik
diarahkan pada pertumbuhan klien meliputi :
a.
Realisasi diri, penerimaan diri dan peningkatan penghormatan terhadap
diri.
b.
Rasa identitas personal yang jelas dan peningkatan integritas diri
c.
Kemampuan untuk membina hubungan interpersonal yang intim dan saling
tergantung dengan kapasitas untuk mencintai dan dicintai.
d.Peningkatan
fungsi dan kemampuan untuk memuaskan kebutuhan serta mencapai tujuan
personal yang realistik.
Tujuan
komunikasi terapeutik adalah :
a.Membantu
klien untuk memperjelas dan mengurangi beban perasaan dan pikiran
serta dapat mengambil tindakan untuk mengubah situasi yang ada bila
klien pecaya pada hal yang diperlukan.
b.Mengurangi
keraguan, membantu dalam hal mengambil tindakan yang efektif dan
mempertahankan kekuatan egonya.
c.Mempengaruhi
orang lain, lingkungan fisik dan dirinya sendiri.
Tujuan
terapeutik akan tercapai bila perawat memiliki karakteristik sebagai
berikut (Hamid, 1998) :
a. Kesadaran diri.
b. Klarifikasi nilai.
c. Eksplorasi perasaan.
d. Kemampuan untuk menjadi model peran.
e. Motivasi altruistik.
f. Rasa tanggung jawab dan etik.
a. Kesadaran diri.
b. Klarifikasi nilai.
c. Eksplorasi perasaan.
d. Kemampuan untuk menjadi model peran.
e. Motivasi altruistik.
f. Rasa tanggung jawab dan etik.
4.
Komponen Komunikasi Terapeutik
Menurut
Potter & Perry,1993, ada 6 komponen komunikasi yaitu:
- Komunikator: Penyampai informasi atau sumber informasi
- Komunikan: penerima informasi atau memberi respon terhaap stimulus yang disampaikan oleh komunikator
- Pesan: gagasan atau pendapat, fakta, informasi atau stimulus yang disampaikan
- Media komunikasi: saluran yang dipakai untuk menyampaikan pesan
- Kegiatan “encoding”: perumusan pesan oleh komunikator sebelum disampaikan oleh komunikan
- Kegiatan “decoding”: penafsiran pesan oleh komunikan pada saat menerima pesan
5.
Karakteristik Perawat dalam Komunikasi
Menurur
Roger, terdapat beberapa karakteristik dari seorang perawat yang
dapat memfasilitasi tumbuhnya hubungan yang terapeutik.
Karakteristik
tersebut antara lain : (Suryani,2005)
- Kejujuran (trustworthy). Kejujuran merupakan modal utama agar dapat melakukan komunikasi yang bernilai terapeutik, tanpa kejujuran mustahil dapat membina hubungan saling percaya. Klien hanya akan terbuka dan jujur pula dalam memberikan informasi yang benar hanya bila yakin bahwa perawat dapat dipercaya.
- Tidak membingungkan dan cukup ekspresif. Dalam berkomunikasi hendaknya perawat menggunakan kata-kata yang mudah dimengerti oleh klien. Komunikasi nonverbal harus mendukung komunikasi verbal yang disampaikan. Ketidaksesuaian dapat menyebabkan klien menjadi bingung.
- Bersikap positif. Bersikap positif dapat ditunjukkan dengan sikap yang hangat, penuh perhatian dan penghargaan terhadap klien. Roger menyatakan inti dari hubungan terapeutik adalah kehangatan, ketulusan, pemahaman yang empati dan sikap positif.
- Empati bukan simpati. Sikap empati sangat diperlukan dalam asuhan keperawatan, karena dengan sikap ini perawat akan mampu merasakan dan memikirkan permasalahan klien seperti yang dirasakan dan dipikirkan oleh klien. Dengan empati seorang perawat dapat memberikan alternatif pemecahan masalah bagi klien, karena meskipun dia turut merasakan permasalahan yang dirasakan kliennya, tetapi tidak larut dalam masalah tersebut sehingga perawat dapat memikirkan masalah yang dihadapi klien secara objektif. Sikap simpati membuat perawat tidak mampu melihat permasalahan secara objektif karena dia terlibat secara emosional dan terlarut didalamnya.
- Mampu melihat permasalahan klien dari kacamata klien.Dalam memberikan asuhan keperawatan perawat harus berorientasi pada klien, (Taylor, dkk ,1997) dalam Suryani 2005. Untuk itu agar dapat membantu memecahkan masalah klien perawat harus memandang permasalahan tersebut dari sudut pandang klien. Untuk itu perawat harus menggunakan terkhnik active listening dan kesabaran dalam mendengarkan ungkapan klien. Jika perawat menyimpulkan secara tergesa-gesa dengan tidak menyimak secara keseluruhan ungkapan klien akibatnya dapat fatal, karena dapat saja diagnosa yang dirumuskan perawat tidak sesuai dengan masalah klien dan akibatnya tindakan yang diberikan dapat tidak membantu bahkan merusak klien.
- Menerima klien apa adanya.Jika seseorang diterima dengan tulus, seseorang akan merasa nyaman dan aman dalam menjalin hubungan intim terapeutik. Memberikan penilaian atau mengkritik klien berdasarkan nilai-nilai yang diyakini perawat menunjukkan bahwa perawat tidak menerima klien apa adanya.
- Sensitif terhadap perasaan klien. Tanpa kemampuan ini hubungan yang terapeutik sulit terjalin dengan baik, karena jika tidak sensitif perawat dapat saja melakukan pelanggaran batas, privasi dan menyinggung perasaan klien.
- Tidak mudah terpengaruh oleh masa lalu klien ataupun diri perawat sendiri. Seseorang yang selalu menyesali tentang apa yang telah terjadi pada masa lalunya tidak akan mampu berbuat yang terbaik hari ini. Sangat sulit bagi perawat untuk membantu klien, jika ia sendiri memiliki segudang masalah dan ketidakpuasan dalam hidupnya.
- Fase Hubungan Komunikasi Terapeutik.
Struktur
dalam komunikasi terapeutik, menurut Stuart,G.W.,1998, terdiri dari
empat fase yaitu:
(1)
fase preinteraksi;
(2)
fase perkenalan atau orientasi;
(3)
fase kerja; dan
(4)
fase terminasi (Suryani,2005).
Dalam
setiap fase terdapat tugas atau kegiatan perawat yang harus
terselesaikan.
- Fase preinteraksi
Tahap ini adalah masa persiapan sebelum memulai berhubungan dengan klien. Tugas perawat pada fase ini yaitu :
1) Mengeksplorasi perasaan,harapan dan kecemasannya;
2) Menganalisa kekuatan dan kelemahan diri, dengan analisa diri ia akan terlatih untuk memaksimalkan dirinya agar bernilai terapeutik bagi klien, jika merasa tidak siap maka perlu belajar kembali, diskusi teman kelompok;
3)Mengumpulkan data tentang klien, sebagai dasar dalam membuat rencana interaksi;
4)Membuat rencana pertemuan secara tertulis, yang akan di implementasikan saat bertemu dengan klien.
- Fase orientasi
Fase ini dimulai pada saat bertemu pertama kali dengan klien. Pada saat pertama kali bertemu dengan klien fase ini digunakan perawat untuk berkenalan dengan klien dan merupakan langkah awal dalam membina hubungan saling percaya. Tugas utama perawat pada tahap ini adalah memberikan situasi lingkungan yang peka dan menunjukkan penerimaan, serta membantu klien dalam mengekspresikan perasaan dan pikirannya.
Tugas-tugas
perawat pada tahap ini antara lain :
1)
Membina hubungan saling percaya, menunjukkan sikap penerimaan dan
komunikasi terbuka. Untuk membina hubungan saling percaya perawat
harus bersikap terbuka, jujur, ihklas, menerima klien apa danya,
menepati janji, dan menghargai klien;
2)
Merumuskan kontrak bersama klien.
Kontrak
penting untuk menjaga kelangsungan sebuah interaksi.Kontrak yang
harus disetujui bersama dengan klien yaitu, tempat, waktu dan topik
pertemuan
3)
Menggali perasaan dan pikiran serta mengidentifikasi masalah klien.
Untuk mendorong klien mengekspresikan perasaannya, maka tekhnik yang
digunakan adalah pertanyaan terbuka;
4)
Merumuskan tujuan dengan klien. Tujuan dirumuskan setelah masalah
klien teridentifikasi. Bila tahap ini gagal dicapai akan menimbulkan
kegagalan pada keseluruhan interaksi (Stuart,G.W,1998 dikutip dari
Suryani,2005)
Hal yang perlu diperhatikan pada fase ini antara lain :
a. Memberikan salam terapeutik disertai mengulurkan tangan jabatan tangan
b.
Memperkenalkan diri perawat: nama lengkap, nama panggilan, alamat
c.
Menanyakan nama klien: nama lengkap, nama panggilan, alamat
d.
Menjelaskan tujuan dan tanggungjawab perawat dan klien
e.
Evaluasi dan validasi
Berisikan
pengkajian keluhan utama, alasan atau kejadian yang membuat klien
meminta bantuan. Evaluasi ini juga digunakan untuk mendapatkan fokus
pengkajian lebih lanjut, kemudian dilanjutkan dengan hal-hal yang
terkait dengan keluhan utama. Pada pertemuan lanjutan
evaluasi/validasi digunakan untuk mengetahui kondisi dan kemajuan
klien hasil interaksi sebelumnya.
f.
Menyepakati masalah. Dengan tekhnik memfokuskan perawat bersama
klien mengidentifikasi masalah dan kebutuhan klien.
g.
Menformulasikan kontrak dengan klien:
1)
Topik kegiatan interaksi
2)
Waktu dilakukannya interaksi (jam, lama interaksi)
3)
Tempat dilakukannya interaksi
Selanjutnya setiap awal pertemuan lanjutan dengan klien lakukan orientasi. Tujuan orientasi adalah memvalidasi keakuratan data, rencana yang telah dibuat dengan keadaan klien saat ini dan mengevaluasi tindakan pertemuan sebelumnya.
- Fase kerja
Tahap ini merupakan inti dari keseluruhan proses komunikasi terapeutik.
Tahap
ini perawat bersama klien mengatasi masalah yang dihadapi
klien.Perawat dan klien mengeksplorasi stressor dan mendorong
perkembangan kesadaran diri dengan menghubungkan persepsi, perasaan
dan perilaku klien.Tahap ini berkaitan dengan pelaksanaan rencana
asuhan yang telah ditetapkan.Tekhnik komunikasi terapeutik yang
sering digunakan perawat antara lain mengeksplorasi, mendengarkan
dengan aktif, refleksi, berbagai persepsi, memfokuskan dan
menyimpulkan (Geldard,D,1996, dikutip dari Suryani, 2005).
- Fase terminasi
Fase ini merupakan fase yang sulit dan penting, karena hubungan saling percaya sudah terbina dan berada pada tingkat optimal. Perawat dan klien keduanya merasa kehilangan. Terminasi dapat terjadi pada saat perawat mengakhiri tugas pada unit tertentu atau saat klien akan pulang. Perawat dan klien bersama-sama meninjau kembali proses keperawatan yang telah dilalui dan pencapaian tujuan.
Untuk
melalui fase ini dengan sukses dan bernilai terapeutik, perawat
menggunakan konsep kehilangan.
Terminasi
merupakan akhir dari pertemuan perawat, yang dibagi dua yaitu:
1) Terminasi sementara, berarti masih ada pertemuan lanjutan;
2) Terminasi akhir, terjadi jika perawat telah menyelesaikan proses keperawatan secara menyeluruh.
1) Terminasi sementara, berarti masih ada pertemuan lanjutan;
2) Terminasi akhir, terjadi jika perawat telah menyelesaikan proses keperawatan secara menyeluruh.
Tugas
perawat pada fase ini yaitu :
a.
Mengevaluasi pencapaian tujuan interaksi yang telah dilakukan,
evaluasi ini disebut evaluasi objektif. Brammer & Mc Donald
(1996) menyatakan bahwa meminta klien menyimpulkan tentang apa yang
telah didiskusikan atau respon objektif setelah tindakan dilakukan
sangat berguna pada tahap terminasi (Suryani,2005);
b.
Melakukan evaluasi subjektif, dilakukan dengan menanyakan perasaan
klien setalah berinteraksi atau setelah melakukan tindakan tertentu;
c. Menyepakati
tindak lanjut terhadap interaksi yang telah dilakukan. Hal ini sering
disebut pekerjaan rumah (planning klien). Tindak lanjut yang
diberikan harus relevan dengan interaksi yang baru dilakukan atau
yang akan dilakukan pada pertemuan berikutnya. Dengan tindak lanjut
klien tidak akan pernah kosong menerima proses keperawatan dalam 24
jam;
d.
Membuat kontrak untuk pertemuan berikutnya, kontrak yang perlu
disepakati adalah topik, waktu dan tempat pertemuan. Perbedaan antara
terminasi sementara dan terminasi akhir, adalah bahwa pada terminasi
akhir yaitu mencakup keseluruhan hasil yang telah dicapai selama
interaksi.
- Sikap Komunikasi Terapeutik.
Lima
sikap atau cara untuk menghadirkan diri secara fisik yang dapat
memfasilitasi komunikasi yang terapeutik menurut Egan, yaitu :
a. Berhadapan. Artinya dari posisi ini adalah “Saya siap untuk anda”.
b.
Mempertahankan kontak mata. Kontak mata pada level yang sama berarti
menghargai klien dan menyatakan keinginan untuk tetap berkomunikasi.
c.
Membungkuk ke arah klien. Posisi ini menunjukkan keinginan untuk
mengatakan atau mendengar sesuatu.
d.
Mempertahankan sikap terbuka, tidak melipat kaki atau tangan
menunjukkan keterbukaan untuk berkomunikasi.
e.
Tetap rileks. Tetap dapat mengontrol keseimbangan antara ketegangan
dan relaksasi dalam memberi respon kepada klien.
Selain hal-hal di atas sikap terapeutik juga dapat teridentifikasi melalui perilaku non verbal. Stuart dan Sundeen (1998) mengatakan ada lima kategori komunikasi non verbal, yaitu :
- Isyarat vokal, yaitu isyarat paralingustik termasuk semua kualitas bicara non verbal misalnya tekanan suara, kualitas suara, tertawa, irama dan kecepatan bicara.
- Isyarat tindakan, yaitu semua gerakan tubuh termasuk ekspresi wajah dan sikap tubuh.
- Isyarat obyek, yaitu obyek yang digunakan secara sengaja atau tidak sengaja oleh seseorang seperti pakaian dan benda pribadi lainnya.
- Ruang memberikan isyarat tentang kedekatan hubungan antara dua orang. Hal ini didasarkan pada norma-norma social budaya yang dimiliki.
- Sentuhan, yaitu fisik antara dua orang dan merupakan komunikasi non verbal yang paling personal. Respon seseorang terhadap tindakan ini sangat dipengaruhi oleh tatanan dan latar belakang budaya, jenis hubungan, jenis kelamin, usia dan harapan.
- Teknik Komunikasi Terapeutik.
Ada
dua persyaratan dasar untuk komunikasi yang efektif (Stuart dan
Sundeen, 1998) yaitu :
a.
Semua komunikasi harus ditujukan untuk menjaga harga diri pemberi
maupun penerima pesan.
b.
Komunikasi yang menciptakan saling pengertian harus dilakukan lebih
dahulu sebelum memberikan saran, informasi maupun masukan.
Stuart dan Sundeen, (1998) mengidentifikasi teknik komunikasi terapeutik sebagai berikut :
Stuart dan Sundeen, (1998) mengidentifikasi teknik komunikasi terapeutik sebagai berikut :
- Mendengarkan dengan penuh perhatian.
Dalam hal ini perawat berusaha mengerti klien dengan cara mendengarkan apa yang disampaikan klien. Mendengar merupakan dasar utama dalam komunikasi. Dengan mendengar perawat mengetahui perasaan klien. Beri kesempatan lebih banyak pada klien untuk berbicara. Perawat harus menjadi pendengar yang aktif. - Menunjukkan penerimaan.
Menerima tidak berarti menyetujui, menerima berarti bersedia untuk mendengarkan orang lain tanpa menunjukkan keraguan atau ketidaksetujuan. - Menanyakan pertanyaan yang berkaitan.
Tujuan perawat bertanya adalah untuk mendapatkan informasi yang spesifik mengenai apa yang disampaikan oleh klien. - Mengulangi ucapan klien dengan menggunakan kata-kata sendiri.
Melalui pengulangan kembali kata-kata klien, perawat memberikan umpan balik bahwa perawat mengerti pesan klien dan berharap komunikasi dilanjutkan. - Mengklasifikasi.
Klasifikasi terjadi saat perawat berusaha untuk menjelaskan dalam kata-kata ide atau pikiran yang tidak jelas dikatakan oleh klien. - Memfokuskan.
Metode ini bertujuan untuk membatasi bahan pembicaraan sehingga percakapan menjadi lebih spesifik dan dimengerti. - Menyatakan hasil observasi.
Dalam hal ini perawat menguraikan kesan yang ditimbulkan oleh isyarat non verbal klien. - Menawarkan informasi.
Memberikan tambahan informasi merupakan tindakan penyuluhan kesehatan untuk klien yang bertujuan memfasilitasi klien untuk mengambil keputusan. - Diam.
Diam akan memberikan kesempatan kepada perawat dan klien untuk mengorganisir. Diam memungkinkan klien untuk berkomunikasi dengan dirinya sendiri, mengorganisir pikiran dan memproses informasi. - Meringkas.
Meringkas pengulangan ide utama yang telah dikomunikasikan secara singkat. - Memberi penghargaan.
Penghargaan janganlah sampai menjadi beban untuk klien dalam arti jangan sampai klien berusaha keras dan melakukan segalanya demi untuk mendapatkan pujian dan persetujuan atas perbuatannya. - Memberi kesempatan kepada klien untuk memulai pembicaraan.
Memberi kesempatan kepada klien untuk berinisiatif dalam memilih topik pembicaraan. - Menganjurkan untuk meneruskan pembicaraan.
Teknik ini memberikan kesempatan kepada klien untuk mengarahkan hampir seluruh pembicaraan. - Menempatkan kejadian secara berurutan.
Mengurutkan kejadian secara teratur akan membantu perawat dan klien untuk melihatnya dalam suatu perspektif. - Memberikan kesempatan kepada klien untuk menguraikan persepsinya
Apabila perawat ingin mengerti klien, maka perawat harus melihat segala sesuatunya dari perspektif klien. - Refleksi.
Refleksi memberikan kesempatan kepada klien untuk mengemukakan dan menerima ide dan perasaannya sebagai bagian dari dirinya sendiri.
- Hambatan Komunikasi Terapeutik.
Hambatan
komunikasi terapeutik dalam hal kemajuan hubungan perawat-klien
terdiri dari tiga jenis utama : resistens, transferens, dan
kontertransferens (Hamid, 1998). Ini timbul dari berbagai alasan dan
mungkin terjadi dalam bentuk yang berbeda, tetapi semuanya menghambat
komunikasi terapeutik. Perawat harus segera mengatasinya. Oleh karena
itu hambatan ini menimbulkan perasaan tegang baik bagi perawat maupun
bagi klien. Untuk lebih jelasnya marilah kita bahas satu-persatu
mengenai hambatan komunikasi terapeutik itu.
- Resisten.
Resisten adalah upaya klien untuk tetap tidak menyadari aspek penyebab ansietas yang dialaminya. Resisten merupakan keengganan alamiah atau penghindaran verbalisasi yang dipelajari atau mengalami peristiwa yang menimbulkan masalah aspek diri seseorang. Resisten sering merupakan akibat dari ketidaksediaan klien untuk berubah ketika kebutuhan untuk berubah telah dirasakan. Perilaku resistens biasanya diperlihatkan oleh klien selama fase kerja, karena fase ini sangat banyak berisi proses penyelesaian masalah. - Transferens.
Transferens adalah respon tidak sadar dimana klien mengalami perasaan dan sikap terhadap perawat yang pada dasarnya terkait dengan tokoh dalam kehidupannya di masa lalu. Sifat yang paling menonjol adalah ketidaktepatan respon klien dalam intensitas dan penggunaan mekanisme pertahanan pengisaran (displacement) yang maladaptif. Ada dua jenis utama reaksi bermusuhan dan tergantung. - Kontertransferens.
Yaitu kebuntuan terapeutik yang dibuat oleh perawat bukan oleh klien. Konterrtransferens merujuk pada respon emosional spesifik oleh perawat terhadap klien yang tidak tepat dalam isi maupun konteks hubungan terapeutik atau ketidaktepatan dalam intensitas emosi. Reaksi ini biasanya berbentuk salah satu dari tiga jenis reaksi sangat mencintai, reaksi sangat bermusuhan atau membenci dan reaksi sangat cemas sering kali digunakan sebagai respon terhadap resisten klien.
Untuk mengatasi hambatan komunikasi terapeutik, perawat harus siap untuk mengungkapkan perasaan emosional yang sangat kuat dalam konteks hubungan perawat-klien (Hamid, 1998).
Awalnya,
perawat harus mempunyai pengetahuan tentang hambatan komunikasi
terapeutik dan mengenali perilaku yang menunjukkan adanya hambatan
tersebut. Latar belakang perilaku digali baik klien atau perawat
bertanggung jawab terhadap hambatan terapeutik dan dampak negative
pada proses terapeutik.
SUMBER/REFERENSI:
Cangara,
Hafid. (2006), Pengantar Ilmu Komunikasi, PT. Raja
Grafindo Persada, Jakart
Ellis,R.,Gates,
R, & Kenworthy,N. (2000). Komunikasi Interpersonal Dalam
Keperawatan: Teori dan Praktik.Alih Bahasa :Susi Purwoko.
Jakarta,EGC.
Keliat,
B.A. (2002), Hubungan Terapeutik Perawat-Klien, EGC, Jakarta.
Nurjannah.
(2004), Pedoman Penanganan Pada Gangguan Jiwa, MocoMedia, Yogyakarta
Notoatmodjo,
S 1997, Ilmu Perilaku dan komunikasi Kesehatan, Rineka Cipta, Jakarta
Purwanto,
H. (1998). Komunikasi untuk Perawat. EGC, Jakarta.
Stuart.G.W.
& Sundeen.S.J.(1998) . Buku Saku Keperawatan Jiwa.Alih Bahasa:
Achir Yani S. Hamid. ed ke-3. Jakarta,
EGC.
Suryani.
(2005). Komunikasi Terapeutik, Teori & Praktek. Jakarta, EGC.