Minggu, 25 Maret 2012

KOMUNIKASI TERAPEUTIK

Komunikasi Terapeutik

1. Pengertian


Komunikasi terapeutik adalah komunikasi yang direncanakan secara sadar, bertujuan dan kegiatannya dipusatkan untuk kesembuhan pasien (Musliha dan Fatmawati, 2009).

Komunikasi terapeutik adalah komunikasi yang direncanakan, disengaja dan merupakan tindakan profesional. Komunikasi terapeutik bertujuan membantu klien mencapai hubungan baik perawat dan klien dan membantu klien memahami tujuan dari tindakan perawatan yang dilakukan (Potter & Perry, 2005).

Komunikasi terapeutik adalah suatu interaksi interpersonal antara perawat dan klien yang selama interaksi berlangsung, perawat berfokus pada kebutuhan khusus klien untuk meningkatkan pertukaran informasi yang efektif antara perawat dan klien (Videbeck, 2008).

2. Tujuan Komunikasi Terapeutik


Menurut Videbeck (2008), komunikasi terapeutik digunakan untuk mencapai banyak tujuan, yang meliputi hal-hal sebagai berikut:

a. Membangun hubungan terapeutik perawat-klien.
b. Mengidentifikasi masalah klien yang paling penting pada saat tersebut tepat pada waktunya (tujuan berpusat pada klien).
c. Mengkaji persepsi klien tentang masalah saat klien terbuka dalam menceritakan peristiwa tersebut.
d. Mengenali kebutuhan mendasar klien.
e. Mamandu klien dalam mengidentifikasi cara pencapaian solusi yang memuaskan dan dapat diterima oleh klien.


Menurut Stuart dan Sundeen (dalam Hamid, 1996), tujuan hubungan terapeutik diarahkan pada pertumbuhan klien meliputi :


a. Realisasi diri, penerimaan diri dan peningkatan penghormatan terhadap diri.
b. Rasa identitas personal yang jelas dan peningkatan integritas diri
c. Kemampuan untuk membina hubungan interpersonal yang intim dan saling tergantung dengan kapasitas untuk mencintai dan dicintai.
d.Peningkatan fungsi dan kemampuan untuk memuaskan kebutuhan serta mencapai tujuan personal yang realistik.


Tujuan komunikasi terapeutik adalah :


a.Membantu klien untuk memperjelas dan mengurangi beban perasaan dan pikiran serta dapat mengambil tindakan untuk mengubah situasi yang ada bila klien pecaya pada hal yang diperlukan.
b.Mengurangi keraguan, membantu dalam hal mengambil tindakan yang efektif dan mempertahankan kekuatan egonya.
c.Mempengaruhi orang lain, lingkungan fisik dan dirinya sendiri.


Tujuan terapeutik akan tercapai bila perawat memiliki karakteristik sebagai berikut (Hamid, 1998) :
a. Kesadaran diri.
b. Klarifikasi nilai.
c. Eksplorasi perasaan.
d. Kemampuan untuk menjadi model peran.
e. Motivasi altruistik.
f. Rasa tanggung jawab dan etik.


4. Komponen Komunikasi Terapeutik


Menurut Potter & Perry,1993, ada 6 komponen komunikasi yaitu:
  1. Komunikator: Penyampai informasi atau sumber informasi
  2. Komunikan: penerima informasi atau memberi respon terhaap stimulus yang disampaikan oleh komunikator
  3. Pesan: gagasan atau pendapat, fakta, informasi atau stimulus yang disampaikan
  4. Media komunikasi: saluran yang dipakai untuk menyampaikan pesan
  5. Kegiatan “encoding”: perumusan pesan oleh komunikator sebelum disampaikan oleh komunikan
  6. Kegiatan “decoding”: penafsiran pesan oleh komunikan pada saat menerima pesan


5. Karakteristik Perawat dalam Komunikasi
Menurur Roger, terdapat beberapa karakteristik dari seorang perawat yang dapat memfasilitasi tumbuhnya hubungan yang terapeutik.
Karakteristik tersebut antara lain : (Suryani,2005)


  1. Kejujuran (trustworthy). Kejujuran merupakan modal utama agar dapat melakukan komunikasi yang bernilai terapeutik, tanpa kejujuran mustahil dapat membina hubungan saling percaya. Klien hanya akan terbuka dan jujur pula dalam memberikan informasi yang benar hanya bila yakin bahwa perawat dapat dipercaya.
  2. Tidak membingungkan dan cukup ekspresif. Dalam berkomunikasi hendaknya perawat menggunakan kata-kata yang mudah dimengerti oleh klien. Komunikasi nonverbal harus mendukung komunikasi verbal yang disampaikan. Ketidaksesuaian dapat menyebabkan klien menjadi bingung.
  3. Bersikap positif. Bersikap positif dapat ditunjukkan dengan sikap yang hangat, penuh perhatian dan penghargaan terhadap klien. Roger menyatakan inti dari hubungan terapeutik adalah kehangatan, ketulusan, pemahaman yang empati dan sikap positif.
  4. Empati bukan simpati. Sikap empati sangat diperlukan dalam asuhan keperawatan, karena dengan sikap ini perawat akan mampu merasakan dan memikirkan permasalahan klien seperti yang dirasakan dan dipikirkan oleh klien. Dengan empati seorang perawat dapat memberikan alternatif pemecahan masalah bagi klien, karena meskipun dia turut merasakan permasalahan yang dirasakan kliennya, tetapi tidak larut dalam masalah tersebut sehingga perawat dapat memikirkan masalah yang dihadapi klien secara objektif. Sikap simpati membuat perawat tidak mampu melihat permasalahan secara objektif karena dia terlibat secara emosional dan terlarut didalamnya.
  5. Mampu melihat permasalahan klien dari kacamata klien.Dalam memberikan asuhan keperawatan perawat harus berorientasi pada klien, (Taylor, dkk ,1997) dalam Suryani 2005. Untuk itu agar dapat membantu memecahkan masalah klien perawat harus memandang permasalahan tersebut dari sudut pandang klien. Untuk itu perawat harus menggunakan terkhnik active listening dan kesabaran dalam mendengarkan ungkapan klien. Jika perawat menyimpulkan secara tergesa-gesa dengan tidak menyimak secara keseluruhan ungkapan klien akibatnya dapat fatal, karena dapat saja diagnosa yang dirumuskan perawat tidak sesuai dengan masalah klien dan akibatnya tindakan yang diberikan dapat tidak membantu bahkan merusak klien.
  6. Menerima klien apa adanya.Jika seseorang diterima dengan tulus, seseorang akan merasa nyaman dan aman dalam menjalin hubungan intim terapeutik. Memberikan penilaian atau mengkritik klien berdasarkan nilai-nilai yang diyakini perawat menunjukkan bahwa perawat tidak menerima klien apa adanya.
  7. Sensitif terhadap perasaan klien. Tanpa kemampuan ini hubungan yang terapeutik sulit terjalin dengan baik, karena jika tidak sensitif perawat dapat saja melakukan pelanggaran batas, privasi dan menyinggung perasaan klien.
  8. Tidak mudah terpengaruh oleh masa lalu klien ataupun diri perawat sendiri. Seseorang yang selalu menyesali tentang apa yang telah terjadi pada masa lalunya tidak akan mampu berbuat yang terbaik hari ini. Sangat sulit bagi perawat untuk membantu klien, jika ia sendiri memiliki segudang masalah dan ketidakpuasan dalam hidupnya.


  1. Fase Hubungan Komunikasi Terapeutik.


Struktur dalam komunikasi terapeutik, menurut Stuart,G.W.,1998, terdiri dari empat fase yaitu:
(1) fase preinteraksi;
(2) fase perkenalan atau orientasi;
(3) fase kerja; dan
(4) fase terminasi (Suryani,2005).


Dalam setiap fase terdapat tugas atau kegiatan perawat yang harus terselesaikan.
  1. Fase preinteraksi

Tahap ini adalah masa persiapan sebelum memulai berhubungan dengan klien. Tugas perawat pada fase ini yaitu :
1) Mengeksplorasi perasaan,harapan dan kecemasannya;
2) Menganalisa kekuatan dan kelemahan diri, dengan analisa diri ia akan terlatih untuk memaksimalkan dirinya agar bernilai terapeutik bagi klien, jika merasa tidak siap maka perlu belajar kembali, diskusi teman kelompok;
3)Mengumpulkan data tentang klien, sebagai dasar dalam membuat rencana interaksi;
4)Membuat rencana pertemuan secara tertulis, yang akan di implementasikan saat bertemu dengan klien.


  1. Fase orientasi

Fase ini dimulai pada saat bertemu pertama kali dengan klien. Pada saat pertama kali bertemu dengan klien fase ini digunakan perawat untuk berkenalan dengan klien dan merupakan langkah awal dalam membina hubungan saling percaya. Tugas utama perawat pada tahap ini adalah memberikan situasi lingkungan yang peka dan menunjukkan penerimaan, serta membantu klien dalam mengekspresikan perasaan dan pikirannya.
Tugas-tugas perawat pada tahap ini antara lain :
1) Membina hubungan saling percaya, menunjukkan sikap penerimaan dan komunikasi terbuka. Untuk membina hubungan saling percaya perawat harus bersikap terbuka, jujur, ihklas, menerima klien apa danya, menepati janji, dan menghargai klien;
2) Merumuskan kontrak bersama klien.
Kontrak penting untuk menjaga kelangsungan sebuah interaksi.Kontrak yang harus disetujui bersama dengan klien yaitu, tempat, waktu dan topik pertemuan
3) Menggali perasaan dan pikiran serta mengidentifikasi masalah klien. Untuk mendorong klien mengekspresikan perasaannya, maka tekhnik yang digunakan adalah pertanyaan terbuka;
4) Merumuskan tujuan dengan klien. Tujuan dirumuskan setelah masalah klien teridentifikasi. Bila tahap ini gagal dicapai akan menimbulkan kegagalan pada keseluruhan interaksi (Stuart,G.W,1998 dikutip dari Suryani,2005)

Hal yang perlu diperhatikan pada fase ini antara lain :



a. Memberikan salam terapeutik disertai mengulurkan tangan jabatan tangan
b. Memperkenalkan diri perawat: nama lengkap, nama panggilan, alamat
c. Menanyakan nama klien: nama lengkap, nama panggilan, alamat
d. Menjelaskan tujuan dan tanggungjawab perawat dan klien
e. Evaluasi dan validasi
Berisikan pengkajian keluhan utama, alasan atau kejadian yang membuat klien meminta bantuan. Evaluasi ini juga digunakan untuk mendapatkan fokus pengkajian lebih lanjut, kemudian dilanjutkan dengan hal-hal yang terkait dengan keluhan utama. Pada pertemuan lanjutan evaluasi/validasi digunakan untuk mengetahui kondisi dan kemajuan klien hasil interaksi sebelumnya.
f. Menyepakati masalah. Dengan tekhnik memfokuskan perawat bersama klien mengidentifikasi masalah dan kebutuhan klien.
g. Menformulasikan kontrak dengan klien:
1) Topik kegiatan interaksi
2) Waktu dilakukannya interaksi (jam, lama interaksi)
3) Tempat dilakukannya interaksi

Selanjutnya setiap awal pertemuan lanjutan dengan klien lakukan orientasi. Tujuan orientasi adalah memvalidasi keakuratan data, rencana yang telah dibuat dengan keadaan klien saat ini dan mengevaluasi tindakan pertemuan sebelumnya.


  1. Fase kerja

Tahap ini merupakan inti dari keseluruhan proses komunikasi terapeutik.
Tahap ini perawat bersama klien mengatasi masalah yang dihadapi klien.Perawat dan klien mengeksplorasi stressor dan mendorong perkembangan kesadaran diri dengan menghubungkan persepsi, perasaan dan perilaku klien.Tahap ini berkaitan dengan pelaksanaan rencana asuhan yang telah ditetapkan.Tekhnik komunikasi terapeutik yang sering digunakan perawat antara lain mengeksplorasi, mendengarkan dengan aktif, refleksi, berbagai persepsi, memfokuskan dan menyimpulkan (Geldard,D,1996, dikutip dari Suryani, 2005).


  1. Fase terminasi

Fase ini merupakan fase yang sulit dan penting, karena hubungan saling percaya sudah terbina dan berada pada tingkat optimal. Perawat dan klien keduanya merasa kehilangan. Terminasi dapat terjadi pada saat perawat mengakhiri tugas pada unit tertentu atau saat klien akan pulang. Perawat dan klien bersama-sama meninjau kembali proses keperawatan yang telah dilalui dan pencapaian tujuan.


Untuk melalui fase ini dengan sukses dan bernilai terapeutik, perawat menggunakan konsep kehilangan.
Terminasi merupakan akhir dari pertemuan perawat, yang dibagi dua yaitu:
1) Terminasi sementara, berarti masih ada pertemuan lanjutan;
2) Terminasi akhir, terjadi jika perawat telah menyelesaikan proses keperawatan secara menyeluruh.


Tugas perawat pada fase ini yaitu :
a. Mengevaluasi pencapaian tujuan interaksi yang telah dilakukan, evaluasi ini disebut evaluasi objektif. Brammer & Mc Donald (1996) menyatakan bahwa meminta klien menyimpulkan tentang apa yang telah didiskusikan atau respon objektif setelah tindakan dilakukan sangat berguna pada tahap terminasi (Suryani,2005);
b. Melakukan evaluasi subjektif, dilakukan dengan menanyakan perasaan klien setalah berinteraksi atau setelah melakukan tindakan tertentu;
c. Menyepakati tindak lanjut terhadap interaksi yang telah dilakukan. Hal ini sering disebut pekerjaan rumah (planning klien). Tindak lanjut yang diberikan harus relevan dengan interaksi yang baru dilakukan atau yang akan dilakukan pada pertemuan berikutnya. Dengan tindak lanjut klien tidak akan pernah kosong menerima proses keperawatan dalam 24 jam;
d. Membuat kontrak untuk pertemuan berikutnya, kontrak yang perlu disepakati adalah topik, waktu dan tempat pertemuan. Perbedaan antara terminasi sementara dan terminasi akhir, adalah bahwa pada terminasi akhir yaitu mencakup keseluruhan hasil yang telah dicapai selama interaksi.


  1. Sikap Komunikasi Terapeutik.


Lima sikap atau cara untuk menghadirkan diri secara fisik yang dapat memfasilitasi komunikasi yang terapeutik menurut Egan, yaitu :

a. Berhadapan. Artinya dari posisi ini adalah “Saya siap untuk anda”.
b. Mempertahankan kontak mata. Kontak mata pada level yang sama berarti menghargai klien dan menyatakan keinginan untuk tetap berkomunikasi.
c. Membungkuk ke arah klien. Posisi ini menunjukkan keinginan untuk mengatakan atau mendengar sesuatu.
d. Mempertahankan sikap terbuka, tidak melipat kaki atau tangan menunjukkan keterbukaan untuk berkomunikasi.
e. Tetap rileks. Tetap dapat mengontrol keseimbangan antara ketegangan dan relaksasi dalam memberi respon kepada klien.

Selain hal-hal di atas sikap terapeutik juga dapat teridentifikasi melalui perilaku non verbal. Stuart dan Sundeen (1998) mengatakan ada lima kategori komunikasi non verbal, yaitu :
  1. Isyarat vokal, yaitu isyarat paralingustik termasuk semua kualitas bicara non verbal misalnya tekanan suara, kualitas suara, tertawa, irama dan kecepatan bicara.
  2. Isyarat tindakan, yaitu semua gerakan tubuh termasuk ekspresi wajah dan sikap tubuh.
  3. Isyarat obyek, yaitu obyek yang digunakan secara sengaja atau tidak sengaja oleh seseorang seperti pakaian dan benda pribadi lainnya.
  4. Ruang memberikan isyarat tentang kedekatan hubungan antara dua orang. Hal ini didasarkan pada norma-norma social budaya yang dimiliki.
  5. Sentuhan, yaitu fisik antara dua orang dan merupakan komunikasi non verbal yang paling personal. Respon seseorang terhadap tindakan ini sangat dipengaruhi oleh tatanan dan latar belakang budaya, jenis hubungan, jenis kelamin, usia dan harapan.


  1. Teknik Komunikasi Terapeutik.


Ada dua persyaratan dasar untuk komunikasi yang efektif (Stuart dan Sundeen, 1998) yaitu :
a. Semua komunikasi harus ditujukan untuk menjaga harga diri pemberi maupun penerima pesan.
b. Komunikasi yang menciptakan saling pengertian harus dilakukan lebih dahulu sebelum memberikan saran, informasi maupun masukan.
Stuart dan Sundeen, (1998) mengidentifikasi teknik komunikasi terapeutik sebagai berikut :


  1. Mendengarkan dengan penuh perhatian.
    Dalam hal ini perawat berusaha mengerti klien dengan cara mendengarkan apa yang disampaikan klien. Mendengar merupakan dasar utama dalam komunikasi. Dengan mendengar perawat mengetahui perasaan klien. Beri kesempatan lebih banyak pada klien untuk berbicara. Perawat harus menjadi pendengar yang aktif.
  2. Menunjukkan penerimaan.
    Menerima tidak berarti menyetujui, menerima berarti bersedia untuk mendengarkan orang lain tanpa menunjukkan keraguan atau ketidaksetujuan.
  3. Menanyakan pertanyaan yang berkaitan.
    Tujuan perawat bertanya adalah untuk mendapatkan informasi yang spesifik mengenai apa yang disampaikan oleh klien.
  4. Mengulangi ucapan klien dengan menggunakan kata-kata sendiri.
    Melalui pengulangan kembali kata-kata klien, perawat memberikan umpan balik bahwa perawat mengerti pesan klien dan berharap komunikasi dilanjutkan.
  5. Mengklasifikasi.
    Klasifikasi terjadi saat perawat berusaha untuk menjelaskan dalam kata-kata ide atau pikiran yang tidak jelas dikatakan oleh klien.
  6. Memfokuskan.
    Metode ini bertujuan untuk membatasi bahan pembicaraan sehingga percakapan menjadi lebih spesifik dan dimengerti.
  7. Menyatakan hasil observasi.
    Dalam hal ini perawat menguraikan kesan yang ditimbulkan oleh isyarat non verbal klien.
  8. Menawarkan informasi.
    Memberikan tambahan informasi merupakan tindakan penyuluhan kesehatan untuk klien yang bertujuan memfasilitasi klien untuk mengambil keputusan.
  9. Diam.
    Diam akan memberikan kesempatan kepada perawat dan klien untuk mengorganisir. Diam memungkinkan klien untuk berkomunikasi dengan dirinya sendiri, mengorganisir pikiran dan memproses informasi.
  10. Meringkas.
    Meringkas pengulangan ide utama yang telah dikomunikasikan secara singkat.
  11. Memberi penghargaan.
    Penghargaan janganlah sampai menjadi beban untuk klien dalam arti jangan sampai klien berusaha keras dan melakukan segalanya demi untuk mendapatkan pujian dan persetujuan atas perbuatannya.
  12. Memberi kesempatan kepada klien untuk memulai pembicaraan.
    Memberi kesempatan kepada klien untuk berinisiatif dalam memilih topik pembicaraan.
  13. Menganjurkan untuk meneruskan pembicaraan.
    Teknik ini memberikan kesempatan kepada klien untuk mengarahkan hampir seluruh pembicaraan.
  14. Menempatkan kejadian secara berurutan.
    Mengurutkan kejadian secara teratur akan membantu perawat dan klien untuk melihatnya dalam suatu perspektif.
  15. Memberikan kesempatan kepada klien untuk menguraikan persepsinya
    Apabila perawat ingin mengerti klien, maka perawat harus melihat segala sesuatunya dari perspektif klien.
  16. Refleksi.
    Refleksi memberikan kesempatan kepada klien untuk mengemukakan dan menerima ide dan perasaannya sebagai bagian dari dirinya sendiri.


  1. Hambatan Komunikasi Terapeutik.


Hambatan komunikasi terapeutik dalam hal kemajuan hubungan perawat-klien terdiri dari tiga jenis utama : resistens, transferens, dan kontertransferens (Hamid, 1998). Ini timbul dari berbagai alasan dan mungkin terjadi dalam bentuk yang berbeda, tetapi semuanya menghambat komunikasi terapeutik. Perawat harus segera mengatasinya. Oleh karena itu hambatan ini menimbulkan perasaan tegang baik bagi perawat maupun bagi klien. Untuk lebih jelasnya marilah kita bahas satu-persatu mengenai hambatan komunikasi terapeutik itu.
  1. Resisten.
    Resisten adalah upaya klien untuk tetap tidak menyadari aspek penyebab ansietas yang dialaminya. Resisten merupakan keengganan alamiah atau penghindaran verbalisasi yang dipelajari atau mengalami peristiwa yang menimbulkan masalah aspek diri seseorang. Resisten sering merupakan akibat dari ketidaksediaan klien untuk berubah ketika kebutuhan untuk berubah telah dirasakan. Perilaku resistens biasanya diperlihatkan oleh klien selama fase kerja, karena fase ini sangat banyak berisi proses penyelesaian masalah.
  2. Transferens.
    Transferens adalah respon tidak sadar dimana klien mengalami perasaan dan sikap terhadap perawat yang pada dasarnya terkait dengan tokoh dalam kehidupannya di masa lalu. Sifat yang paling menonjol adalah ketidaktepatan respon klien dalam intensitas dan penggunaan mekanisme pertahanan pengisaran (displacement) yang maladaptif. Ada dua jenis utama reaksi bermusuhan dan tergantung.
  3. Kontertransferens.
    Yaitu kebuntuan terapeutik yang dibuat oleh perawat bukan oleh klien. Konterrtransferens merujuk pada respon emosional spesifik oleh perawat terhadap klien yang tidak tepat dalam isi maupun konteks hubungan terapeutik atau ketidaktepatan dalam intensitas emosi. Reaksi ini biasanya berbentuk salah satu dari tiga jenis reaksi sangat mencintai, reaksi sangat bermusuhan atau membenci dan reaksi sangat cemas sering kali digunakan sebagai respon terhadap resisten klien.
    Untuk mengatasi hambatan komunikasi terapeutik, perawat harus siap untuk mengungkapkan perasaan emosional yang sangat kuat dalam konteks hubungan perawat-klien (Hamid, 1998).


Awalnya, perawat harus mempunyai pengetahuan tentang hambatan komunikasi terapeutik dan mengenali perilaku yang menunjukkan adanya hambatan tersebut. Latar belakang perilaku digali baik klien atau perawat bertanggung jawab terhadap hambatan terapeutik dan dampak negative pada proses terapeutik.


SUMBER/REFERENSI:


Cangara, Hafid. (2006), Pengantar Ilmu Komunikasi, PT. Raja Grafindo Persada, Jakart
Ellis,R.,Gates, R, & Kenworthy,N. (2000). Komunikasi Interpersonal Dalam Keperawatan: Teori dan Praktik.Alih Bahasa :Susi Purwoko. Jakarta,EGC.
Keliat, B.A. (2002), Hubungan Terapeutik Perawat-Klien, EGC, Jakarta.
Nurjannah. (2004), Pedoman Penanganan Pada Gangguan Jiwa, MocoMedia, Yogyakarta
Notoatmodjo, S 1997, Ilmu Perilaku dan komunikasi Kesehatan, Rineka Cipta, Jakarta
Purwanto, H. (1998). Komunikasi untuk Perawat. EGC, Jakarta.
Stuart.G.W. & Sundeen.S.J.(1998) . Buku Saku Keperawatan Jiwa.Alih Bahasa: Achir Yani S. Hamid. ed ke-3. Jakarta, EGC.
Suryani. (2005). Komunikasi Terapeutik, Teori & Praktek. Jakarta, EGC.


Jumat, 23 Maret 2012

KONSEP DASAR KESEHATAN JIWA


A.   PENDAHULUAN

Kehidupan manusia dewasa ini semakin sulit dan komplek. Kondisi tersebut diperparah dengan bertambahnya stressor psikososial akibat budaya masyarakat modern yang cenderung sekuler. Hal tersebut menyebabkan manusia tidak dapat menghindari tekanan-tekanan hidup yang dialami. Kondisi kritis ini membawa dampak terhadap peningkatan kualitas dan kuantitas penyakit mental-emosional manusia

Kondisi diatas dapat menimbulkan gangguan jiwa dalam tingkat ringan amaupun berat yang memerlukan penanganan di rumah sakit, baik itu di rumahs akit jiwa atau di unit pelayanan keperawatan jiwa di rumah sakit umum dan unit pelayanan lainnya.

Pelayanan di rumah sakit tidak mungkin dapat berjalan dengan baik tanpa adanya pelayanan keperawatan. Pelayanan Keperawatan sangat diperlukan karena merupakan bagian integral dari proses penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan. Untuk merawat klien/pasien dengan baik seorang perawat harus mengetahui konsep dasar keperawatan dan juga harus memahami serta mengaplikasikan proses keperawatan.

B.   KONSEP DASAR KESEHATAN DAN KEPERAWATAN JIWA
1.   Pengertian Sehat 
a.    Menurut WHO (Notosoedirjo,2005):
“Keadaan yang sempurna baik fisik, mental maupun social, tidak hanya terbebas dari penyakit/cacat”
Pengertian sehat menurut WHO tersebut merupakan kondisi ideal dari sisi biologis, psikologis dan social. Apakah ada seseorang yang berada dalam kondisi sempurna secara biopsikososial?  Memang sulit untuk mendapatkan seseorang yang berada dalam kondisi kesehatan yang sempurna, namun yang mendekati pada kondisi ideal dapat didapatkan.

b.    UU. No 23, 1992 tentang kesehatan
Sehat: keadaan sejahtera dari badan, jiwa dan sosial yg memungkinkan setiap orang hidup produktif secara sosial dan ekonomis

Sehubungan dengan pentingnya dimensi agama dalam kesehatan, maka pada tahun 1984, WHO menambahkan dimensi agama sebagai salah satu pilar kesehatan. Sehingga menjadi 4 pilar kesehatan yaitu: 1)  sehat sevara jasmani/fisik (biologis); 2) sehat secara kejiwaan (psikologis/psikiatric); 3) sehat secara social dan 4) sehat secara spiritual (agama). Yang digambarkan dalam sebuah skema (Hawari, 1992)


                Agama/                                                           Organo-
                Spiritual                                                           biologic


                                                 ANAK
                                              (MANUSIA)
                                   

            Psiko-                                                               Sosial-
            edukatif                                                           Budaya

                                    Skema 4 Dimensi Sehat
                                            (Hawari, 1993)

















Dari skema tersebut dapat dijelaskan bahwa manusia, hidup dalam 4 dimensi:
a.   Agama/spiritual
Fitrah manusia, kebutuhan dasar manusia yang mengandung nilai-nilai moral, etika dan hukum. Seorang yang taat pada hukum, berarti ia bermoral dan beretika, seorang yang bermoral dan beretika berarti ia beragama.
b.   Organo-Biologik
Fisik/tubuh/jasmani, termasuk perkembangan susunan saraf pusat (otak), yang perkembangannya memerlukan makanan yang bergizi, bebas dari penyakit yang kejadiannya sejak dari pembuahan, bayi dalam kandungan, kemudian lahir sebagai bayi dan seterusnya melalui tahapan anak (balita), remaja, dewasa dan usia lanjut.
c.    Psiko-edukatif
Pendidikan yang diberikan prangtua termasuk pendidikan agama. Orangtua merupakan tokoh imitasi dan identifikasi anak terhadap orangtuanya> Perkembangan kepribadian anak melalui dimensi psiko-edukatif ini berhenti pada usia 18 tahun

d.   Sosial-Budaya
Kepribadian manusia juga dipengaruhi oleh kultur budaya dari lingkungan social, dimana manusia dibesarkan

2.     Pengertian Kesehatan Jiwa
Menurut UU No.. 3, 1966:
“Kesehatan Jiwa adalah suatu kondisi yg memungkinkan perkembangan fisik, intelektual dan emosional yg optimal dari seseorang dan perkembangan itu berjalan selaras dengan orang lain”
Makna kesehatan jiwa mempunyai sifat-sifat yang harmonis (serasi)  dan memperhatikan semua segi-segi dalam kehidupan manusia dan dalam hubungannya dengan orang lain (social)

Kesehatan jiwa : Kemampuan menyesuaikan diri dg diri sendiri, orang lain, masyarakat dan lingkungan. Terwujudnya keharmonisan fungsi jiwa dan sanggup menghadapi problema yang biasa terjadi dan merasa bahagia dan mampu diri

Gangguan Jiwa: Sindroma atau pola perilaku atau psikologik seseorang yg secara klinis cukup bermakna dan scr khas berkaitan dg suatu gejala “penderitaan” (distress) dan atau hendaya (impairment/disability) di dalam satu atau lebih fungsi manusia


3.   Ciri Sehat Jiwa

a.   Ciri Sehat Jiwa Menurut WHO (Hawari, 2002)
1)     Dapat menyesuaikan diri secara konstruktif pada kenyataan, meskipun kenyataan itu buruk baginya
2)     Memeperoleh kepuasan dari hasil jerih payah usahanya
3)     Merasa lebih puas memberi daripada menerima
4)     Secara relative bebas dari rasa tegang (stress)
5)     Berhubungan dengan orang lain secara tolong menolong dan saling memuaskan
6)     Menerima kekecewaan untuk dipakainya sebagai pelajaran di kemudian hari
7)     Mengarahkan rasa permusuhan pada penyelesaian yang kreatif dan konstruktif
8)     Mempunyai rasa kasih sayang yang besar

Bila dicermati secara seksama masing-masing butir kriteria sehat tersebut diatas bernuansa pesan-pesan moral etik-religius.


b.   Ciri Sehat Jiwa Menurut Maslow-Mittlemenn (Notosoedirdjo, 2005):
1)     Rasa aman yang memadai
perasaan aman dalam hubungannya dengan pekerjaan, social dan keluarganya
2)     Kemampuan menilai diri sendiri yang memadai
yang mencakup:1) harga diri yang memadai, ada nilai yang sebanding pada diri sendiri dan prestasinya; 2) memiliki perasaan yang berguna;
3)     Memiliki spontanitas dan perasaan yang memadai dengan orang lain
seperti hubungan persahabatan, cinta, berekspresi yang cukup pada ketidaksukaan tanpa kehilangan control, kemampuan memahami dan membagi rasa kepada orang lain, kemampuan menyenangi diri sendiri dan tertawa
4)     Mempunyai kontak yang efisien dengan realitas
sedikitnya mencakup 3 aspek: fisik, social dan diri sendiri/internal. Ditandai dengan: 1) tiadanya fantasi yang belebihan; b) mempunyai pandangan yang realistis dan pandangan yang luas: 3) kemampuan untuk berubah jika situasi eksternal tidak dapat dimodifikasi
5)     Keinginan-keinginan jasmani yang memadai dan kemampuan untuk memuaskannya
ditandai dengan: 1) sikap yang sehat terhadap fungsi jasmani: 2) kemampuan meperoleh kenikmatan kebahagiaan dari dunia fisik dalam kehidupan: 3) kehidupan seksual yang wajar: 4) kemampuan bekerja: 5) tidak adanya kebutuhan yang berlebihan.
6)     Mempunyai pengetahuan yang wajar
termasuk didalamnya: 1) cukup mengetahui tentang: motif, keinginan, tujuan, ambisi, hambatan, kompensasi, perasaan rendah diri: 2) penilaian yang realistis terhadap milik dan kekuarangan;
7)     Kepribadian yang utuh dan konsisten
maknanya: 1) cukup baik perkembangannya, kepandaiannya, berminat dalam berbagai aktifitas; 2) memiliki prinsip moral dan kata hati yang tidak berbeda dengan pandangan kelompok;3) mampu berkonsentrasi: 4) tidak ada konflik besar dalam kepribadiannya
8)     Memiliki tujuan hidup yang wajar
Hal ini berarti: 1) memiliki tujuan yang sesuai dan dapat dicapai; 2) mempunyai usaha yang cukup dan tekun mencapai tujuan; 3) tujuan bersifat baik untuk diri sendiri dan masyarakat.


9)     Kemampuan untuk belajar dari pengalaman
Tidak hanya mengumpulkan pengetahuan dan kemahiran ketrampilan, tetapi juga kemauan menerima hal baru yang baik
10) Kemampuan memuaskan tuntutan kelompik
Individu harus: 1) tidak terlalu menyerupai anggota kelompok yang lain; 2) terinformasi secara memadai, menerima cara yang berlaku dikelompoknya; 3) kemauan dan dapat menghambat dorongan dan hasrat yang dilarang kelompoknya.
11. Mempunyai emansipasi yang memadai dari kelompok atau budaya
    Hal ini mencakup: 1) kemampuan menganggap sesuatu itu baik dan yang lain jelek; 2) dalam beberapa hal tergantung dari pandangan kelompok; 3) menghargai perbedaan budaya

c.   Ciri Sehat menurut JAHODA:
1)         Sikap positif terhadap diri:
a)   Menerima diri
b)   Sadar diri
c)   Obyektif
d)   Merasa berarti
2)         Tumbuh kembang dan aktualisasi
a)   Berfungsi optimal
b)   Adaptif
3)         Integrasi ;
a)   Ekspresi dan represi
b)   Ego yang kuat (stres dan koping)
c)   Luar dan dalam (konflik dan dorongan)
4)         Otonomi
a)   Tergantung dan mandiri seimbang
b)   Tanggungjawab terhadap diri sendiri
c)   Menghargai otonomi orang lain
5)         Persepsi realitas
a)   Mau berubah sesuai pengetahuan baru
b)   Empati dan menghargai sikap dan perasaan orang lain
6)         Environmental mastery (menguasai lingkungan)
a)   Sukses
b)   Adaptif terhadap lingkungan
c)   Dapat mengatasi : kesepian, agresif, frustasi

4.   Upaya Kesehatan Jiwa (Dir. Bina Pelayanan Keperawatan Depkes RI)

1.   Ditujukan untuk menjamin setiap orang dapat menikmati kehidupan kejiwaan yang sehat, bebas dari ketakutan, tekanan dan gangguan lain yang dapat mengganggu kesehatan jiwa
2.   Terdiri atas peningkatan, pencegahan, pengobatan dan pemulihan pasien gangguan jiwa dan masalah psikososial
3.   Menjadi tanggungjawab bersama pemerintah dan masyarakat
4.   Pemerintah dan masyarakat bertanggungjawab menciptakan kondisi kesehatan jiwa yang optimal dan menjamin ketersediaan, aksesibilitas, mutu dan pemerataan upaya kesehatan jiwa
5.   Pemerintah berkewajiban untuk mengembangkan upaya kesehatan jiwa keseluruhan, termasuk akses masyarakat terhadap pelayanan kesehatan.

5.   Keperawatan Jiwa

Keperawatan sebagai bentuk pelayanan professional merupakan bagian integral yang tidak dapat dipisahkan dari pelayanan kesehatan secara keseluruhan. Hal ini ditekankan dalam Undang-Undang RI No.23 tahun 1992 tentang kesehatan yang dilakukan dengan pengobatan dan atau perawatan.
Pelayanan keperawatan yang diberikan adalah upaya mencapai derajad kesehatan semaksimal mungkin sesuai dengan potensi yang dimiliki dalam menjalankan kegiatan dalam bidang promotif, prefentif, kuratif dan rehabilitative dengan menggunakan proses keperawatan.

Penerapan asuhan keperawatan di rumah sakit jiwa memang sedikit berbeda dengan RSU. Perbedaan tersebut disebabkan oleh adanya perbedaan karakteristik penderita yang dilayani yaitu pasien di RSJ merupakan orang yang sedang mengalami gangguan jiwa. Proses pengobatan gangguan jiwa memerlukan waktu yang lama, disamping itu asuhan keperawatan yang dilakukan sangat menetukan keberhasilan pengobatan (Keliat, 1998)

Hasil evaluasi terhadap dokumentasi di 2 RSJ yang besar, ditemukan kurang dari 40% pelaksanaan asuhan keperawatan belum memenuhi kriteria sesuai standar asuhan yang baik. Kondisi ini tentunya tidak boleh memupuskan motivasi dalam merawat pasien dengan gangguan jiwa (Keliat, 1998).

Motivasi untuk merawat klien dengan masalah kesehatan jiwa adalah:
1.   Gangguan jiwa tidak merusak seluruh kepribadian dan perilaku manusia
2.   Perilaku manusia selalu dapat diarahkan pada respon yang baru
3.   Perilaku manusia selalu dipengaruhi faktor yang menimbulkan tekanan sosial, dikuatkan atau dilemahkan

6.   Peran Perawat dalam Kesehatan Jiwa

1.   Mekanisme utama yang mendorong sistem social (Parson, 1951, dalam The Bride to Profesional Nursing Practice, Cresia, 2001)
2.   Set perilaku unik menggambarkan posisi yang merefleksikan domain personal, social ayau okupasi
3.   Pola perilaku tersebut dimanifestasikan ke dalam penampilan melaksanakan tugas dan kewajiban
4.   Pembentukan peran perawat dipengaruhi oleh karakteristik organisasi, individu perawat dan interaksi perawat dengan yang terlibat dalam set peran tersebut
5.   Peran professional unik karena dipengaruhi oleh kode etik yang membantu memperlihatkan secara tajam perilaku professional dan sebagai kerangka dari harapan peran tersebut.

Semua peran perawat tersebut dapat dilaksanakan dalam memberikan pelayanan keperawatan jiwa, baik pada institusi sarana kesehatan RS, Puskesmas maupun praktik mandiri/swasta. Untuk melaksanakan perasn tersebut dipersiapkan perawat yang memiliki kompetensi dan kewenangan untuk melaksanakannya (registrasi, sertifikasi dan lisensi).

C.   Pemeliharaan Kesehatan Jiwa Diri Sendiri

1.   Solitude (nyepi)
ü  Perlu waktu utk diri sendiri utk memahami apa yang terjadi waktu bersama orang lain
ü  Bukan fisikal, sama dengan “time out”
ü  Menghindari dituntut dan menuntut orang lain

2.   Kesehatan diri sendiri (Personal Physical Health)
ü  Makanan yang sehat
ü  Istirahat yang cukup
ü  Olahraga



3.   Solitude (nyepi)
ü  Perlu waktu utk diri sendiri utk memahami apa yang terjadi waktu bersama orang lain
ü  Bukan fisikal, sama dengan “time out”
ü  Menghindari dituntut dan menuntut orang lain

4.   Kesehatan diri sendiri (Personal Physical Health)
ü  Makanan yang sehat
ü  Istirahat yang cukup
ü  Olahraga

5.   Merawat dengan memperhatikan tanda-tanda stres internal (ettending to internal stress signals)
ü  Setiap orang pernah marah, karena hal yang kecil
ü  Penting bagi perawat untuk mengenal dan berespon pada tanda-tanda stresnya


BUKU SUMBER:

Hawari, 2002. Dimensi Religi dalam Praktek Psikiatri dan Psikologi, FKUI Jakarta
Notosoedirdjo, M, 2005. Kesehatan Mental, Konsep dan Penerapan. UMM Press,
          Malang
Yosep, 2011. Keperawatan Jiwa. Refika Aditama, Bandung

ditambah dengan:
Materi Konas Keperawatan Kesehatan Jiwa IV, Bandu